Pangan, Sebuah Buku Berisi Fakta Mengerikan


Judul Buku      : Pangan, Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan (Food for                                     Beginners)
Penulis            : Susan George
Penerjemah     : Magdalena Sitorus
Penerbit           : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan           : I, Agustus 2007
Tebal               : xx + 193 Halaman
Harga              : Rp. 50.000,00

            Isu pangan mulai menjadi sesuatu yang membosankan untuk didengar. Kita mendengar permasalahan pangan dibahas setiap harinya di media-media publik, namun begitu isu ini belum juga tuntas. Nyatanya sejak merdeka hingga detik ini, Indonesia belum pernah swasembada pangan. Pemerintah bukannya tidak berusaha. Pada tahun 2015, pemerintahan Jokowi telah menahbiskan serangkaian program pertanian seperti RJIT, PUAP, GPPTT, dan lain-lainnya guna mendongkrak produksi pangan Indonesia. Berbagai pihak diterjunkan, mulai dari TNI hingga mahasiswa. Anggaran yang dikucurkan guna mensukseskan misi ini juga tidak main-main besarnya. Akhirnya setelah sekian usaha yang dilakukan, kita mulai berpikir, apa yang salah dengan usaha kita selama ini?
            Melalui buku Pangan, Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan ini, Susan George, yang seorang political scientist, menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, khususnya sebagai warga negara Dunia Ketiga, seputar isu kekurangan pangan. Pada bagian pembuka, pembaca diajak mengenali hakikat pangan. Makanan adalah kekuasaan. Makanan adalah kebutuhan pokok mahluk hidup untuk bertahan hidup, menjadikan makanan sebagai bahan perebutan. Perebutan makanan di spesies lain tampak jelas, sedangkan di manusia modern tampak subtil dan dilakukan dengan cara-cara yang lebih kejam lagi.
Selanjutnya pembaca diajak menelusuri asal mula lahirnya pertanian. Disinilah pertanyaan ‘kenapa kita tidak berburu seperlunya seperti spesies-spesies lain?’ terjawab. Pertanian tentu membuka peluang bagi manusia modern untuk hidup tidak serta merta untuk makan, namun dari sektor ini pula muncul permasalahan-permasalahan seperti kelaparan dunia, kesenjangan ekonomi dan sosial, emigrasi, perbudakan, kolonialisme, hingga degradasi lingkungan.
Yang paling disoroti dalam buku ini adalah ironi kehidupan petani, yakni pekerja penghasil pangan yang justru kelaparan di tengah ladangnya sendiri. Di Indonesia, mayoritas penduduknya menggantungkan dirinya pada sektor pertanian. Nyatanya petani-petani Indonesia bekerja mati-matian demi panen yang melimpah, namun mereka masih kelaparan di musim paceklik. Lebih aneh lagi, banyaknya sumberdaya manusia yang mengelola SDA di Indonesia ternyata masih belum mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Berbagai alasan sehubungan kekurangan pangan diajukan, dari membludaknya jumlah penduduk dunia, hingga degradasi lingkungan. Namun, penulis berargumen dengan menyertakan serentetan data dan analisis, bahwa ketamakan dan kekejian manusia-lah yang menjadi akar dari kekurangan makanan. Pada dasarnya jumlah makanan yang ada di bumi ini sudah mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia. Sistem perekonomian dan pertanian dunia-lah yang perlu diubah.
 Food for Beginners. Pangan untuk Pemula. Demi keselarasan dengan judul, buku ini dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi menarik di setiap lembarnya. Tampaknya satirisme adalah nuansa utama yang diusung oleh buku ini. Sindiran-sindiran, ironi, dan mirisnya dunia pangan tertuang tidak hanya dalam pemaparan data dan analisa, namun juga dalam ilustrasi-ilustrasinya. Terlepas dari hal tersebut, secara keseluruhan buku ini tetap mudah untuk dipahami, karena pokok bahasannya disusun secara sistematis dan menggunakan kata-kata yang sederhana. Topik bahasan dalam buku ini juga sangat lengkap, dari sejarah agrikultur, revolusi industri, monokulturisme, Neo-Malthusian, hingga Keluarga Berencana (KB). Hanya saja dalam beberapa bagian, buku ini terlalu banyak memaparkan data kuantitatif, sehingga memerlukan proses berpikir yang cukup lama. Kekurangan lain dalam buku ini adalah kesalahan penulisan di beberapa halaman.
 Pada akhirnya, buku ini berhasil meninggalkan perasaan gusar dalam diri pembaca. Pembaca tidak lagi dapat makan tanpa memikirkan tetes keringat pengorbanan dan kekejian yang mengantar makanan itu sampai tersaji di meja. Well, kalau begitu lebih baik nggak baca buku ini dong, daripada akhirnya merasa gusar dan kesal? Anda salah. “Semoga sukses. Jangan lupa makan teratur dan sebarkan gagasan dalam buku ini” Begitu pesan penulis. Ya, tampaknya sudah tiba waktu bagi kita untuk bekerja bahu membahu memperbaiki kebrobrokan sistem yang ada.

***


Previous
Next Post »
Thanks for your comment